Total Tayangan Halaman

Sabtu, 10 Desember 2011

CYBER (CHILD) PORNOGRAPHY

WASPADA, ANAK TARGET CYBER (CHILD) PORNOGRAPHY

Ironi, nasib sebagian anak di Indonesia. Masih ada yang harus hidup keras dijalanan, tidak sekolah dan ketika sakit pun harus direpotkan dengan urusan administrasi berlabel miskin. Padahal mereka juga anak Indonesia yang wajib dilindungi oleh negara tanpa alasan apapun, termasuk urusan administrasi yang bisa menyusul. Tidak cukup sampai disitu, anak di negeri ini juga menjadi obyek kekerasan dalam rumah tangga, dunia pendidikan, bahkan anak dijadikan barang yang diperjualbelikan.

Hasil penelitian KOMNAS ANAK tahun 2004, terdapat sekitar 200 sampai 300 ribu anak dibawah usia 18 tahun menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK), baik di dalam negeri, memasok kebutuhan untuk Asia Tenggara. Kemudian Penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Sumut pada tahun 2007-2008, menemukan kurang lebih 3.000 anak perempuan di Medan, dieksploitasi dan dimanfaatkan secara seksual dan komersil. Bagaimana di Bangka Belitung ? Memang belum ada data pasti, namun beberapa kasus yang sempat terekspos dimedia massa menujukkan indikasi kuat adanya eksploitasi ABG secara seksual dan komersil di beberapa daerah di Negeri Serumpun Sebalai.

Cyber (child) pornography


Cyber (child) pornography berhasil diungkap Bareskrim Polri dengan menangkap HFP warga negara Inggris di rumahnya, Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (5/11/2011). HFP diduga melakukan pelecahan seksual terhadap sejumlah anak di bawah umur atau pedofilia. Modus kejahatannya dilakukan dengan mengajak anak-anak jalanan untuk difoto bugil dan disetubuhi dengan bayaran jutaan rupiah hingga rumah dan mobil. Selanjutnya, pelaku mengunggah (upload) foto tersebut ke sebuah situs komunitas penggemar anak-anak telanjang di belahan dunia, sehingga foto anak-anak Indonesia yang bugil tersebut diduga menjadi konsumsi komunitas pedofilia di seluruh dunia. HFP mengaku telah melakukan kejahatan pelecehan seksual terhadap sembilan anak jalanan di Batam, berjenis kelamin perempuan, berusia 8 hingga 12 tahun, sejak 2004 hingga 2011.

Kasus ini kembali menunjukkan ironisnya nasib perlindungan HAM anak di Indonesia, khususnya terhadap anak jalanan. Padahal dalam Konstitusi sudah jelas dan tegas diamanahkan bahwa anak terlantar dipelihara oleh negara. Namun cerita pahit di atas menunjukkan negara gagal. Jangankan memelihara, untuk melindungi anak-anak dari jeratan pedofilia saja negara beserta perangkatnya tidak mampu berbuat maksimal. Padahal anak merupakan generasi penerus bangsa dan pemegang tongkat estafet pembangunan kedepan. Jadi negara harus serius dan mengevaluasi semua kebijakannya terkait perlindungan anak yang selama ini sudah dilakukan. Stakeholder terkait harus bersinergi dengan institusi pendidikan, LSM, tokoh masyarakat dan agama.

Perangi Cyber (child) pornography


Kasus cyber (child) pornography di negara-negara barat sudah lama dan sering terjadi. Indonesia sebagai negara yang baru menggunakan internet secara massal lebih kurang 10 tahunan ini sekarang justru menjadi pemasok untuk muatan pornografi anak di internet. Disini teknologi kembali menunjukkan dua sisi mata uangnya. Disatu sisi teknologi sangat bermanfaat bagi manusia, namun disisi lain menjadi media untuk melakukan kejahatan, termasuk penyebaran pornografi anak via cyberspace.

Permasalahan ini sudah sejak lama menjadi keprihatinan dan mendapat perhatian serius dari dunia internasional. Beberapa forum internasional berupaya memerangi cyber (child) pornography, seperti adanya The first World Congress Against Commercial Sexual Exploitation of Children, Stockholm, 27-31 Agustus 1996 dan International Conference on “Combatting Child Pornography on the Internet”, Vienna, Hofburg, pada tanggal 29 September-1 Oktober 1999.

Ditingkat nasional, sebenarnya kita tidak kekurangan komitmen terkait perlindungan anak. Kita punya UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kemudian terkhusus untuk kasus cyber (child) pornography ada juga UU Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur tindak pidana eksploitasi anak, termasuk yang menggunakan dunia maya. Disetiap daerah memiliki Badan Perlindungan Anak dan Perempuan, serta KOMNAS ANAK ditingkat nasional. Kiranya regulasi dan institusi serta SDM yang ada dapat kembali mengoptimalkan komitmen bersama dalam implementasi perlindungan anak dari jangkauan tangan-tangan penjahat.

Upaya memerangi praktek kekerasan dan eksploitasi anak yang sudah sampai didunia maya ini tidak hanya tanggung jawab negara, tetapi juga sekolah, kampus, masyarakat sampai dengan keluarga. Orang tua harus punya perhatian yang ekstra terhadap perilaku anak dan pergaulannya. Sekolah, kampus dan masyarakat juga memiliki peran penting sebagai social control di luar keluarga. Pemerintah harus mengambil kebijakan strategis perlindungan anak dan pengentasan kemiskinan yang sering menjadi asal muasal anak terjerat ke dunia prostitusi dan cyber (child) pornography.

Disamping itu, upaya preventif dan represif harus dilakukan dalam upaya penanggulangan cyber (child) pornography. Pendekatan hukum pidana sebagai upaya represif dan upaya non hukum pidana yang lebih bersifat preventif dilakukan dengan pendekatan teknologi (techno prevention), pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif, pendekatan global/kerjasama internasional dan pendekatan ilmiah. Upaya ini membutuhkan adanya kesadaran, kerjasama dan partisipasi semua pihak, baik itu pemerintah, penyedia jasa internet, institusi pendidikan, masyarakat, orang tua, user dan kerjasama regional dan internasional, mengingat dunia maya adalah dunia yang sudah tidak mengenal batas-batas terirorial geografis sebuah negara.

Opini Bangkapos, 16 November 2011



Penulis : Dwi Haryadi
Dosen FH UBB dan Mahasiswa PDIH UNDIP
 
Link:http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=WASPADA,%20ANAK%20TARGET%20CYBER%20%28CHILD%29%20PORNOGRAPHY%20&&nomorurut_artikel=517

Tidak ada komentar:

Posting Komentar